Sebelum bernama Persib, di Kota Bandung berdiri Bandoeng Inlandsche
Voetball Bond ( BIVB ) pada sekitar tahun 1923. BIVB ini merupakan salah
satu organisasi perjuangan kaum nasionalis. Tercatat sebagai Ketua Umum
BIVB adalah Mr. Syamsudin yang kemudian diteruskan oleh putra pejuang
wanita Dewi Sartika, yakni R. Atot.
Atot sebagai Komisaris daerah Jawa Barat
yang pertama. BIVB memanfaatkan lapangan Tegallega didepan tribun pacuan
kuda. Tim BIVB ini beberapa kali mengadakan pertandingan diluar kota
seperti Yogyakarta dan Jatinegara Jakarta.
BIVB kemudian menghilang dan muncul dua perkumpulan lain yang juga
diwarnai nasionalisme Indonesia yakni Persatuan Sepak Bola Indonesia
Bandung ( PSIB ) dan National Voetball Bond ( NVB ).
Pada tanggal 14 Maret 1933, kedua perkumpulan itu sepakat melakukan
fusi dan lahirlah perkumpulan yang bernama Persib yang kemudian memilih
Anwar St. Pamoentjak sebagai Ketua Umum. Klub- klub yang bergabung
kedalam Persib adalah SIAP, Soenda, Singgalang, Diana,Matahari, OVU,
RAN, HBOM, JOP, MALTA, dan Merapi.
Di Bandung pun saat itu pun sudah berdiri perkumpulan sepak bola yang
dimotori oleh orang- orang Belanda yakni Voetbal Bond Bandung &
Omstreken ( VBBO). Perkumpulan ini kerap memandang rendah Persib.
Seolah- olah Persib merupakan perkumpulan “ kelas dua “. VBBO sering
mengejek Persib. Maklumlah pertandingan- pertandingan yang dilangsungkan
oleh Persib dilakukan dipinggiran Bandung—ketika itu—seperti Tegallega
dan Ciroyom.
Masyarakat pun ketika itu lebih suka menyaksikan pertandingan yang
digelar VBBO. Lokasi pertandingan memang didalam Kota Bandung dan tentu
dianggap lebih bergengsi, yaitu dua lapangan dipusat kota, UNI dan
SIDOLIG.
Persib memenangkan “ perang dingin “ dan menjadi perkumpulan
sepakbola satu- satunya bagi masyarakat Bandung dan sekitarnya.Klub-
klub yang tadinya bernaung dibawah VBBO seperti UNU dan SIDOLIG pun
bergabung dengan Persib. Bahkan VBBO kemudian menyerahkan pula lapangan
yang biasa mereka pergunakan untuk bertanding yakni Lapangan UNI,
Lapangan SIDOLIG ( kini Stadion Persib ), dan Lapangan SPARTA ( kini
Stadion Siliwangi ). Situasi ini tentu saja mengukuhkan eksistensi
Persib di Bandung.
Ketika Indonesia jatuh ke tangan Jepang. Kegiatan persepakbolaan yang
dinaungi organisasi lam dihentikan dan organisasinya dibredel. Hal ini
tidak hanya terjadi di Bandung melainkan juga diseluruh tanah air.
Dengan sendirinya Persib mengalami masa vakum. Apalagi Pemerintah
Kolonial Jepang pun mendirikan perkumpulan baru yang menaungi kegiatan
olahraga ketika itu yakni Rengo Tai Iku Kai.
Tapi sebagai organisasi bernapaskan perjuangan, Persib tidak takluk
begitu saja pada keinginan Jepang. Memang nama Persib secara resmi
berganti dengan nama yang berbahasa Jepang tadi. Tapi semangat juang,
tujuan dan misi Persib sebagai sarana perjuangan tidak berubah
sedikitpun.
Pada masa Revolusi Fisik, setelah Indonesia merdeka, Persib kembali
menunjukkan eksistensinya. Situasi dan kondisi saat itu memaksa Persib
untuk tidak hanya eksis di Bandung. Melainkan tersebar diberbagai kota,
sehingga ada Persib di Tasikmalaya, Persib di Sumedang, dan Persib di
Yogyakarta.
Pada masa itu prajurit- prajurit Siliwangi hijrah ke ibukota
perjuangan Yogyakarta. Baru tahun 1948 Persib kembali berdiri di
Bandung, kota kelahiran yang kemudian membesarkannya.
Rongrongan Belanda kembali datang, VBBO diupayakan hidup lagi oleh Belanda ( NICA ) meski dengan nama yang berbahasa Indonesia Persib sebagai bagian dari kekuatan perjuangan nasional tentu saja dengan sekuat tenaga berusaha menggagalkan upaya tersebut. Pada masa pendudukan NICA tersebut, Persib didirikan kembali atas usaha antara lain, dokter Musa, Munadi, H. Alexa, Rd. Sugeng dengan Ketua Munadi.
Rongrongan Belanda kembali datang, VBBO diupayakan hidup lagi oleh Belanda ( NICA ) meski dengan nama yang berbahasa Indonesia Persib sebagai bagian dari kekuatan perjuangan nasional tentu saja dengan sekuat tenaga berusaha menggagalkan upaya tersebut. Pada masa pendudukan NICA tersebut, Persib didirikan kembali atas usaha antara lain, dokter Musa, Munadi, H. Alexa, Rd. Sugeng dengan Ketua Munadi.
Perjuangan Persib rupanya berhasil, sehingga di Bandung hanya ada
satu perkumpulan sepak bola yakni Persib yang dilandasi semangat
nasionalisme. Untuk kepentingan pengelolaan organisasi, decade 1950- an
ini pun mencatat kejadian penting. Pada periode 1953- 1957 itulah Persib
mengakhiri masa pindah- pindah secretariat. Walikota Bandung saat itu
R. Enoch, membangunkan Sekretariat Persib di Cilentah.
Awal Persib memiliki gedung yang kini berada di Jalan Gurame, adalah
upaya R. Soendoro, seorang overste replubiken yang baru keluar dari LP
Kebonwaru pada tahun 1949. Pada waktu itu, melalui kepengurusan yang
dipimpinnya, Soendoro menghadap kepada R. Enoch yang kebetulan kawan
baiknya. Dari hasil pembicaraan, Walikota mendukung dan memberikan
sebidang tanah di Jalan Gurame sekarang ini.
Pada saat itu, karena kondisi keuangan yang memprihatinkan, Persib
tidak memiliki dana untuk membangun gedung, Soendoro kembali menemui
Walikota dan menyatakan, “ Taneuh puguh deui, tapi rapat ditiungan ku
langit biru,” kata Soendoro.
Akhirnya Enoch juga membantu membangun gedung yang kemudian mengalami dua kali renovasi. Kiprah Soendoro sendiri didunia sepak bola diteruskan putranya, antara lain, Soenarto, Soenaryono, Soenarhadi, Risnandar, dan Giantoro serta cucunya Hari Susanto.
Akhirnya Enoch juga membantu membangun gedung yang kemudian mengalami dua kali renovasi. Kiprah Soendoro sendiri didunia sepak bola diteruskan putranya, antara lain, Soenarto, Soenaryono, Soenarhadi, Risnandar, dan Giantoro serta cucunya Hari Susanto.
Dalam menjalankan roda organisasi beberapa nama yang juga berperan
dalam berputarnya roda organisasi Persib adalah Mang Andun dan Mang
Andi. Kedua kakak beradik ini adalah orang lapangan Persib. Tugas
keduanya, sekarang ini dilanjutkan oleh putra dan menantunya, Endang dan
Ayi sejak 90-an. Selain juga staf administrasi Turahman.
Renovasi pertama dilakukan pada kepemimpinan Kol. CPM Adella ( 1953-
1963 ). Kini sekretariat Persib di Jalan Gurame itu sudah cukup
representatif, apalagi setelah Ketua Umum H. Wahyu Hamijaya ( 1994- 1998
) merenovasi gedung tersebut sehingga menjadi kantor yang memadai untuk
mewadahi berbagai kegiatan kesekretariatan Persib.
Kemampuan Persib menjaga nilai- nilai dan tradisinya serta
menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tentu tidak lepas dari figur
Ketua Umum bukan hanya figur yang berkemampuan mengelola organisasi
dalam artian agar organisasi itu terus hidup, melainkan juga figur yang
mampu menggali potensi dan mengakomodasikan kekuatan yang ada, sehingga
kiprah Persib dalam kancah sepakbola nasional terus berlangsung lewat
berbagai karya Persib.
sumber,persib1933.pun.bz/sejarah-lengkap-tentang-persib-ba...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar